HADIR dalam khazanah sastra Jawa klasik bergenre suluk, kemunculan Serat Gatholoco dan Darmagandhul senantiasa penuh kontroversi. Dikecam habis-habisan lantaran dianggap sebagai karya yang menghina agama (Islam), tapi sekaligus diburu meski hingga kini permanen menjadi karya bawah tanah. Benarkah kedua karya itu menampik asas etis dan estetis? Ditulis dalam bentuk tembang macapat, Gatholoco banyak mengungkap ajaran tasawuf atau mistik. Pada bagian awal dijelaskan, karya ini ditulis pada hari Senin Pahing, 8 Jumadilawal 1962 Jawa. Teks menceritakan tentang sosok Gatholoco dan ngelmu-nya. Gatholoco adalah sosok yang "warnine tan kaprah janmi/ wandane apan bungkik/ kulite besisik iku/ kelawan tanpa netra/ tanpa irung tanpa kuping/ remenane anendra sadina-dina/ ... Diceritakan, beberapa guru mengaji berdebat dengan Gatholoco mengenai orang berilmu, haram, atau najis, dan halal. Juga teka-teki tentang wayang, dalang, blencong, dan kelir. Gatholoco selalu memenangi perdebatan. Gatholoco juga bertemu dengan seorang pertapa, Dewi Perjiwati, dan terjadilah tanya jawab mengenai syahadat, hakikat pria-wanita, perilaku dalam asmaragama, dan asal muasal manusia. Gatholoco memenangi perdebatan sehingga Dewi Perjiwati terpaksa menjadi istrinya. Darmagandhul juga bermetrum macapat dan berisi ajaran tasawuf atau mistik. Suluk ini ditulis oleh Ki Kalamwadi, Sabtu Legi, 23 Ruwah 1830 Jawa. Ajaran dituangkan dalam dialog antara Ki Kalamwadi dan Darmagandhul lewat cerita kejatuhan Majapahit karena serangan tentara Demak Bintara dan para wali. Diceritakan tentang upaya para wali memprovokasi Patah agar merebut takhta ayahandanya, Prabu Brawijaya, di Majapahit. Dialog antara Sunan Benang dan Butalocaya, tetua lelembut yang merupakan bekas murid Jayabaya, dikemukakan secara panjang lebar dalam teks ini. Akhir perdebatan, Sunan Benang mengakui bahwa dirinya kalah kawruh dan kalah nalar dari Buta Locaya. Ditampilkan pula dialog antara Sunan Kalijaga dan Barawijaya sebelum raja tua itu masuk Islam. Juga Sabdopalon yang muksa setelah tuannya mengucapkan syahadat. Kalamwadi juga menyampaikan ajaran kepada istrinya, Perjiwati, mengenai keutamaan dalam hidup dan ajaran perkawinan. Diuraikan pula mengenai empat kemuliaan, yaitu kemuliaan yang lahir dari diri sendiri, yang lahir dari harta benda pemilik, kemuliaan karena kepandaiannya, dan kemuliaan karena pengetahuannya. Dari dua serat itulah dapat ditemukan beberapa istilah dalam agama Islam yang secara tekstual dapat dianggap sebagai pelesetan, seperti rasulullah yang disebut "rasa ala ganda salah", Mekah: yen dimek mekakah, dan sarengat: yen sare njengat. Juga orang shalat dan zikir yang disebut sebagai "lara ayan esuk sore" (sakit ayan pagi dan petang). Dalam perjalanannya, kedua karya itu telah mendapatkan sambutan yang terbilang luar biasa, baik lewat penolakan maupun resepsi secara kritis dan kreatif. Bentuk prosanya dalam bahasa Jawa ngoko pun ada, sebagaimana yang diterbitkan toko buku Sadu Budi, Solo (1961) dan dicetak beberapa kali. Malahan dalam sandiwara tradisional, ketoprak contohnya, ada pula lakon yang dapat dilacak sebagai cerita yang berhipogram pada Serat Darmagandhul. Namun sebagaimana karya "nakal" lain, keduanya tak luput dari penolakan. Sebagaimana yang dicatat oleh Benedict ROG Anderson (2000), kehadiran kedua karya tersebut diprotes hingga berbuntut pelarangan. Benarkah Darmagandhul dan Gatholoco hadir sebagai karya yang menampik asas etis dan estetis? Agaknya kita tak bisa terburu-buru untuk mengatakan "iya". "Bagaimana bisa dikatakan kedua karya itu menampik asas estetis jika justru dibuat dalam bentuk tembang, yang tidaklah gampang menuliskannya karenan keketatan konvensi," kata Pemimpin Redaksi Majalah Kebudayaan Basis Dr Sindhunata. Sindhunata pun mengatakan, sebagaimana jamak terjadi pada agama-agama lain, Serat Gatholoco dan Darmagandhul hadir untuk mengajak agama yang lebih sering tampil dalam wajah yang formal dan kaku menjadi lebih manusiawi dan mencair. "Bukankah Tuhan juga dapat ditemukan dalam lumpur, pada sesuatu yang sering kita anggap hina," katanya. Dosen Fakultas Ushuludin IAIN Walisongo Semarang Dr Suhandjati Sukri mengatakan, sepintas memang ada unsur-unsur yang menjelekkan Islam. "Meski saya menduga karya tersebut sangat dipengaruhi oleh paham sinkretisme dan mistitisme, untuk memahami secara menyeluruh karya tersebut harus diakukan analisis secara hermenuitik. Harus disingkap konteks sosisokultural ketika karya itu diciptakan," kata penulis disertasi mengenai Serat Sasanasunu itu. Adapun menurut pendapat pakar filsafat Timur Dr Damardjati Supadjar, kedua serat tersebut bukan untuk memuja seks, melainkan untuk menunjukkan bahwa ujian syariat terberat adalah seks. "Hanya mereka yang lulus dari ujian 'mekakah', yang makin jelas bentang kebenaran yang mengatasi suang dan waktu, yang bisa melakukan transformasi ke tarikat, apalagi menuju hakikat," kata penulis buku Nawangsari (1999) itu. Apa yang dikemukakan oleh Sindhunata, Sri Suhandjati, dan Damardjati tentu saja hanya sebagaian kecil dari bidikan terhadap kedua teks tersebut. Untuk melakukan bidikan yang lebih tepat dan menghadirkan potret yang menyeluruh, tentu saja harus dilakukan kajian secara menyeluruh pula. Namun simpulan Anderson kiranya cukup untuk membantu menuju pemahaman terhadap kedua karya tersebut. Anderson mengemukakan, sikap dan sifat-sifat dasar Suluk Gatholoco paling baik dipahami jika dijajarkan dengan Centhini. Pertama, orang menengarai kontras antara kedua pahlawan. Seh Amongraga adalah seorang yang toleran, teladan yang lembut, dari priayi Jawa masa silam. Hal yang sebaliknya ada pada Gatholoco; tak cocok dengan model tradisional pahlawan Jawa (kesatria petarung yang anggun, pendeta resi yang pertapa, wali muslim ataupun raja yang lurus). Kedua, Gatholoco dan penciptanya sama sekali tak berminat dalam daftar dan keberagaman ajaran yang mereka tampilkan. Hanya ada satu pengetahuan yang dianggap penting -pengetahuan mistis tentang lelaki sejati- dan Gatholoco memaparkan kerumitannya dan mempertahankannya dengan penuh kemarahan dan kasar, kebijaksanaan yang sangat liar dan urakan. Ketiga, Gatholoco hanya memiliki satu perempuan patner seksual, dan dia berhubungan dengan cara yang paling kasar, bahkan brutal. "Gatholoco dan Darmagandhul menjalani pengelanaan mereka dengan penuh sendirian. Panggung dibentuk dalam suasana ini, Jawa menjadi tampak seperti bentangan surealistik yang di dalamnya penanda-penanda suatu kawasan hanyalah sarang candu, gua, gunung, dan pesantren. Suatu bentang alam yang terbayangkan, bukan yang diidealisasikan," jelas Anderson. Kiranya Gatholoco dan Darmagandhul pantas untuk ditempatkan sebagai ekspresi sebuah kehendak lain, cita-cita, keyakinan, dan imajinasi lain untuk mempertanyakan sekaligus menginterupsi sesuatu berwajah formal dan tidak bisa dicemooh.
|